A. Pendidikan Islam Sebelum Penjajahan Eropa
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Didikan dan ajaran Islam diberikan dengan perbuatan, contoh dan keteladanan. Pendidikan dan pengajaran Islam secara Informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik, karena dengan berangsur-angsur tersebarlah agama Islam keseluruh kepulauan Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Maluku.
Karena dengan cepatnya Islam tersebar diseluruh Indonesia, maka banyaklah didirikan tempat-tempat ibadah seperti Mesjid, Langgar atau Surau, yang mana tempat-tempat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga sebagai tempat pendidikan yang sangat sederhana. Modal pokok yang mereka miliki hanya semangat menyiarkan agama dan semangat menuntut ilmu bagi yang belum memilikinya.
Tempat-tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya system pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasar keagamaan.
Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana yang teratur sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Dalam rencana kerja dari Bayangkara Islah disebutkan bahwa supaya mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat maka didikan dan ajaran Islam harus dibeikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat itu asal tidak menyalahi hukum syara.
Untuk merealisasikan rencana ini, maka pada suatu Sidang Dewan Walisongo dan Kerajaan Demak, memutuskan bahwa semua cabang kebudayaan Nasional yakni filsafat hidup, kesenian, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran agama Islam. Kebijaksanaan Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.
B. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan, mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani, dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah Barat di Indonesia selama ± 3,5 abad.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu Badan Khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan Pendidikan Islam yang disebut Pries Terraden. Atas nasihat dari Badan inilah maka pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus minta izin terlebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi.
Pada tahun 1925 pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh.
Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas Madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi lumpuh. Akan tetapi yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang kepada hadits Nabi Muhammad SAW, yang artinya “Barangsiapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut.” (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hiban). Mereka tetap berpegang pada ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani engkau angkat sebagai pemimpinmu.”
C. Pendidikan Islam di Zaman Kemerdekaan
Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan Agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = SD) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB dua Menteri tersebut belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah diluar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan Agama mulai dari kelas 1 SR.
Pemerintah membentuk majelis pertimbangan pengajaran agama islam pada tahun 1947, yang di pimpin oleh Kihajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya untuk mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan sekolah umum.
Pada tahun 1950 kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan Agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya Panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr.Hadi dari Departemen P dan K, untuk menyempurnakan kurikulumnya maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam siding-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973 – 1978 dan 1983 yang menegaskan bahwa pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Negeri dalam semua tingkat (Jenjang) pendidikan
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar