1. Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani
Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut:
“Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merennung. Jika sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk”
Kemudian Al-Jurjani kembali berkata “Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, karena orang yang mengeluarkan derma jarang-jarang dan kadang-kadang saja, maka akhlaknya tidak dinamakan sebagai seorang dermawan, selama sifat tersebut tak tertanam kuat dalam dirinya.
Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang akhlaknya dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan karena ia tidak punya uang atau karena ada halangan.
Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma, karena ada suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer.
Dari pemaparan tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak berbeda dengan definisi Al-Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini mengambil ilmu dari sumber yang sama, dan keduanya juga tidak melupakan Hadits yang menyifati akhlak yang baik atau indah bahwa akhlak adalah apa yang dinilai oleh akal dan syariat.
2. Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah)
Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat
Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua keburukan, yakni sebagai berikut:
Hikmah, merupakan kesempurnaankekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya Hikmah, dan yang kedua adalah berlebihan.
Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya keberanian dan yang kedua adalah berlebihan keberanian.
Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama, adalah kurangnya sifat tersebut, sedangkan yang kedua adalah berlebihnya sifat tersebut.
Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang, dan masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan anatara dua keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu akhlak disebutkan penjelasan detail tentang hal-hal ini.
Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari posisi pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu
Topik ilmu ini adalah insting – insting diri, yang membuatnya berada di posisi petengahan antara sikap mengurangi dan berlebihan
Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap pertengahan dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan mengurangi adalah kelemahan.
Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi sosok yang terpuji
3. Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi
Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri.
Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak.
1 komentar:
Saya sangat terbantu dengan adanya informasi ini, terimakasih
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar